Jumat, 03 Januari 2014

VISI MISI PENGUSAHA

Sebelum Kuliah Umum “Semua Bisa Menjadi Pengusaha“ menjadi berat, saya coba endapkan dengan bicara “visi misi“. Kenapa Yusuf Mansur, yang seorang ustadz, dan belom diketahui reputasinya sebagai pengusaha, he he he, lalu membuat Sekolah Bisnis? Membuat kuliah tentang “Semua Bisa Menjadi Pengusaha“? Dan mendorong orang untuk berusaha? Berdagang? Di antaranya, supaya Saudara yang kepengen masuk ke gelanggang ini punya niatan dan visi misi yang relatif sama. Bukan karena egoisitas kepengen kaya dan berkuasa. Dan supaya Saudara meniti jalan mudah yang dibentangkan Allah, yang pilihannya juga begitu banyak dan variatif. Yakni lewat jalan ibadah dan doa. Disebut banyak dan variatif, sebab ibadah itu betul-betul banyak. Ya, sebelum Kuliah Umum ini berkembang menjadi berat, saya pun kepengen mencairkan suasana, dengan kembali mengatakan kepada Saudara-Saudara semua, “Asli. Menjadi pengusaha itu tidak sesulit yang Saudara kira. Miliki keinginan, miliki impian, mendekat ke Allah, dan teruuuuuuuus aja bergerak. Hingga Allah Membimbing, hingga Allah Memberikan Karunia.“ Ada yang malah ga punya keinginan, ga punya impian. Atau katakanlah, tidak menjadi afirmasi, tidak menjadi sesuatu yang dikatakan. Tapi ia mendekat ke Allah, dan terus juga bergerak. Akhirnya ia ada di dalam impian yang diimpikan oleh orang banyak, namun mereka yang satu ini tidak mendekat ke Allah dan tidak bergerak. Dunia Allah terlalu luas bila menjadi pengusaha haruslah terlebih dahulu sekolah tinggi, babak belur ditipu habis-habisan, ancur-ancuran, atau harus punya sederat pengalaman, punya modal, punya mitra bisnis. Ada Jalan Lain. Mudah. Asal mau. Asal yakin. Menjadi “penguasa“ juga demikian. Tidak sesulit yang Saudara kira. Saya punya kawan, atas izin Allah mendawamkan dengan sengaja ayat ke-26 ke-27 Surah Aali ’Imroon. Di tengah pastinya ada yang bakalan berdebat, koq ayat ini dipake buat zikir buat wirid, apalagi ada tendensi tertentu, kawan saya ini mengalir. Posisinya sebagai guru honorer di satu madrasah, membuatnya terdorong, termotivasi, bergairah, membaca sebanyak-banyaknya dan serajin-rajinnya ayat 26-27 Surah Aali ’Imraan ini. Di Indonesia, “sebanyak-banyaknya“ dan “serajin-rajinnya“ ini yang bahasa gampangnya: didawamin bacanya, dijadikan pakaian harian, dijadikan wirid andelan. Di mana tidak akan ditinggal dua ayat ini setelah baca juga zikir-zikir atau wirid-wirid lainnya. Peristiwa yang mengantarkannya menjadi seorang gubernur daerah, sungguh ia tidak mengira. 2-3 tahun sebelum pelantikan, saat itu, ia mendengar CD saya atas izin Allah. Lalu kawan ini kepengen berubah. “Tidaklah salah kepengen berubah, asal keinginan itu disampaikan ke Allah Yang Maha Mengubah, dan berproses menjadi berubah dengan cara-cara Allah.“ Di CD itu, ia menangkap secara gampangnya ayat yang ia yakini secara teks juga demikian artinya. Allah yang bisa mengubah. Ayat ini dibacanya, dan menjadi teman setiap habis shalat. Hingga masa itu datang. Seorang gubernur “incumbent“ memintanya untuk mewakili beliau maju di Pilkada di daerahnya. “Aih... Mimpi apa aku ini...? Diajak nyalonin jadi wakil gubernur...?“ Bermodalkan kurang dari 400rb rupiah, ia kemudian menjadi salah satu gubernur dengan biaya termurah. Maklum, sudah lazim di Indonesia, mahal sekali biaya pencalonan itu. Baik untuk membeli kendaraan politiknya, sampe ke biaya pra kampanye dan kampanye. Bahkan untuk proses pendampingan saksi saja, harus ekstra biaya yang tidak sedikit. Koq gubernur? Bukannya jadi wakil? Ya, awalnya wakil. Gubernur incumbent terpilih lagi, dengan beliau sebagai wakilnya. Tapi musibah datang, ujian datang, untuk gubernur yang didampinginya. Gubernur asli tersebut terkena dugaan kasus, sehingga harus mundur dari jabatannya. Naiklah kemudian wakil ini menggantikan. Sungguh kejadian ini tidak diduga sama sekali. Ia yang buta bagaimana memimpin daerah, tiba-tiba mau tidak mau harus memimpin penuh. Subhaanallaah. Di rumah kediaman gubernur, beliau berkisah, “Akkkuuu, biasa baca doa di sini Ustadz,“ kata kawan saya ini bertutur dengan logat kedaerahannya. “Ga nyangggka, kalau eh, aaakkku sekarang yang tinggal di sini...“ Saudara yang kemudian membaca tulisan ini, diam-diam menaruh keinginan menjadi gubernur juga, he he he. Lalu mendawamkan ayat ini juga. Ayat 26-27 Surah ke-3. Kenapa saya bilang diam-diam? Ya, malu-malu. Diam-diam, malu-malu, takut ada yang mengatakan, wuah, kepengen jadi gubernur ya? Mendawamkan ayat tersebut. Sementara yang lain mengatakan, wuah, jadi murahan ini ayat, jika dimaksudkan untuk wasilah jadi gubernur. Ada lagi kemudian yang mengatakan, jangan kepengen jadi gubernur, neraka! Weh weh weeeeeeeehhh... Saking aja ini Mukaddimah. Kalau engga, udah dibahas deh, he he he. Kalau tidak ada seorang muslimpun yang bermimpi menjadi kepala daerah, kepala negara, jangan salah bila ada “orang lain“ yang memimpika itu, bahkan merencanakannya, dan bergerak. Hingga kemudian kaum muslim dipimpin oleh “orang lain“. Jangan memusuhi keinginan. Jangan memusuhi impian. Bersahabatlah dengan keinginan, bersahabatlah dengan impian. Keinginan saja, impian saja, tanpa ada Allah, tanpa ada amal saleh, tanpa ada ibadah, tanpa ada doa, mereka yang beraliran keyakinan meyakini bisa tercapai. Apalagi yang menyandarkan kepada Allah, mau menuruti Alah, mengikuti seruan Allah, meyakini Allah, dan kemudian sungguh-sungguh berdoa dan bergerak ke arah keinginan dan impiannya itu. Tentu mereka inilah yang lebih berpeluang. Jika punya keinginan, jika punya impian, lalu mendorong Saudara beramal saleh yang hebat, semakin lagi berwarna suasana hati, dan apalagi terpelihara semangat di hati, sebab punya impian, maka itu menjadikan Saudara lebih hidup. Ada anak yang sekolah dengan datar. Ia tidak punya cita-cita kepengen masuk UI. Apalagi keluar negeri. Akan berbeda dengan anak yang sedari awal membidik UI sebagai cita-citanya. Seorang yang kepengen menjadi tentara, dengan yang “kebetulan“ mengalir menjadi tentara, akan berbeda juga barangkali hidupnya. Perjalanan ke depan memang milik Allah. Namun sebagai seorang manusia, saya lebih senang mengatakan, bersahabatlah dengan keinginan, bersahabatlah dengan impian. Jangan biarkan ia menjauh. Asalkan Saudara ajak keinginan itu dan impian itu kepada Yang Merajai Keinginan dan Yang Merajai Impian. Terngiang dialog di atas kereta Sinkansen, kereta super cepatnya Jepang, yang membawa saya dan Ugi, Ketua IPTIJ (Ketuanya para pekerja training Jepang), dari Osaka-Tokyo-Osaka. Saya berbicara dengan Ugi atas izin Allah seputar impian. “Ugi, kalo udah punya hasrat, punya keinginan, punya impian, bikin cantolannya. Usahakan ada aktualisasinya. Ada visualisasinya. Sebagian kawan menolak. Saya mah setuju banget. asal jangan pernah jauh dari Allah. Seorang ayah yang pengen anaknya masuk UI, ajak anaknya maen-maen ke UI. UI itu Universitas Indonesia. Ajak sesekali shalat Jum’at di sana. Sepedaan di sana. Hingga anak bisa punya impian ke sana. Kalo udah begini, udah deket nih. Sambungannya udah ada. Apalagi kalau mau mendoakan anak, dan membawa anak ke Allah. Lalu anak jadi pandai berdoa ke Allah supaya gede nanti kuliah di UI. Beliin kaos berlogo UI dan bertuliskan UI. Belikan topi berlogo UI, bertuliskan UI. Beli stikernya. Tempel di rumah. Teruslah berdoa. Hingga kemudian rektor UI 30-40 tahun ke depan adalah anaknya!“ Begitu saya bertutur kepada Ugi. Dalam kesempatan memberikan motivasi bisnis, motivasi usaha, motivasi menjadi pebisnis, pengusaha, pedagang, kepada para pekerja di Jepang, saya mengatakan, “Bercanda-canda aja dulu dengan keinginan dan impian. Tapi bedakan dengan yang lain. Jangan cuma kepengen, jangan cuma ngimpi. Harus ada tahapan berikutnya. Jadikan keinginan itu, impian itu, ibadah. Sejak awalnya diinginkan, diimpikan, sudah jadi ibadah. Dan jadikan besar itu keinginan dan impian, dengan memperbesarnya bersama Alah.“ Di Osaka, seribuan pekerja yang mulia, berkumpul. Saya berdialog dengan mereka. Salah satu saya panggil ke depan, apa yang Saudara inginkan? Usaha apa yang Suadara bayangkan? Salah satu dari mereka maju dan menjawab, “Saya kepengen punya cucian mobil...“ Saya lalu memotongnya sopan, “Nah... Bagus nih kalo udah punya impian, kepengen, kayak begini. Sekalian aja bawa ke Allah. Supaya jadi ibadah. Dan kalau udah dibawa ke Allah, jangan tanggung-tanggung mintanya. Minta sama Allah supaya bisa punya 100 tempat cucian mobil yang modern.“ Saya bercanda-canda dengan para kansusei Jepang in, apa kemudian “sambungan“ keinginan itu? Apa aktualisasinya?a visualiasisanya? Maen-maen ke tempat cucian mobil. “Saya ga paham cucian mobil di Jepang kayak apa. Tapi kalau di Indonesia saya kebayang...“, begitu kata saya. “Maen dah ke sana. Maen ke satu cucian mobil dan ke cucian mobil lainnya. Usahakan nyambi di sana. Sambil berdoa dari jantungnya keinginan itu, jantungnya impian itu, seperti soalan UI tadi. Sambil nyambi di sana, sambil berdoa. Coba miliki bekas tempat sabun atau shampo mobilnya. He he he, cuci, keringin, jadiin monumen keinginan dan impian. Lalu saat dhuha, saat shalat malam, saat habis shalat fardhu, berdoalah sebagiai kebaikan tambahan doa minta surga dan perlindungan dari neraka, yakni doa supaya bisa punya 100 cucian mobil.“ Inget cucian mobil, saya jadi teringat kawan saya. Dia ini demen banget ngoleksi mobil hummer. Maenan mobil hummer dibelai-belain dibeli. Dan ditaro di tempat yang mudah dilihatnya saat tidur dan bangun. Belasan tahun kemudian, ia yang seorang tukang cuci mobil, kadang merangkap sebagai penambal ban, menjemput saya dengan Hummer asli! Kisahnya sudah ditulis oleh @Anwar_SaniMoza dan masuk ke dalam salah satu bukunya beliau yang berjudul: Donat. Saya tanya lagi yang lain. adalah Adhit, sekjen IPTIJ. Beliau kepengen punya bisnis properti. “Mau bikin apartemen,“ katanya sambil setengah tersenyum meringis. He he he, ada ya tersenyum tapi meringis. Ya, barangkali ia memandang dirinya ga pantas bermimpi punya apartemen. Saya besarkan hatinya. Bisa koq. Mulai aja “memproduksi“ keinginan, memproduksi impian. Dialog, dialog, eh dia menyebut ada orang di kampungnya yang mau jual tanahnya. “1 milyar,“ kata Adhit. Ay ayyyy... Adhit udah berani nyebut 1 milyar. “Tanahnya 1 hektar. Di Jagakarsa, Jaksel.“ Saya tertawa kecil, tapi bukan menertawakan. “Bukan 1 hektar kali Dhit.... Di Jakarta udah susah tanah murah dan besar. Apalagi di Jagakarsa. Walaupun bisa-bisa aja...“ Adhit tersenyum. “Eh eh eh, iya. 1000 meter kali ya... Ga mungkin ya? Iya kali. 1000 meter. Tapi ada. Saya inget. Tetangga saya persis koq. Hanya beda berapa rumah.“ Lihat. Adhit udah memulai perjalanan keinginan, perjalanan impian. Sesaat setelah ia memproduksi impian, keinginan, ia mengingat peluang. Sungguhpun duit ga ada. Seukuran 1 Milyar, namun saya membesarkan hatinya, bahwa pemilik tanah itu adalah Allah. Bawa keinginan itu ke Allah, bawa impian itu ke Allah. Lalu saya menggoretkan tulisan di kertas yang beliau bawa, untuk mengingatkan beliau untuk segera merapat ke Allah, sebagai satu-satunya investor. Dit, tanah 1000 itu mau Adhit apakan? Tanya saya. Saya sengaja ga make, “Kalau tanah itu bisa dimiliki Adhit...?“ Saya ga pake kalau. Langsung aja pake past-tense, seakan-akan tanah itu bener-bener udah kebeli. “Mau saya bangun perumahan...“ Saya sungguh tidak akan menertawakan hingga saya sok jago. Saya ambil BB saya, lalu saya perlihatkan foto apartemen yang saya sedang bangun saat tulisan ini dirilis. “Dit, ini apartemen yang tingginya lebih dari 10 lantai. 4 blok. Ini di tanah 5000 meter. Jadi kalau 1000 meter bisa dibuat apa?“ Adhit jawab, “Iya ya. Bisa dibuat kos-kosan...“ Lihat, Adhit bahkan belom bergeser tempat. Ia belom bergerak. Belom dhuha, merapat ke Allah. Belom shalat malam. Belom berdoa. Belom googling nyari info-info. Belom nambah ilmu dengan beli buku. Belom ikut seminar-seminar dan pelatihan properti. Belom. Baru berpikir, dan masih di tempat! Lompatan udah kelihatan: Ingat ada yang jual tanah, kepikiran bangun perumahan, mengoreksi menjadi kos-kosan bertingkat... Apalagi bila kemudian ia bergerak. Subhaanallaah... Arif, seorang kawannya yang lain, di meja makan Pak Iben, Pak Konjen RI di Jepang bilang, “Saya mau usaha sawit. Saya mau ngumpulin gambar sawit,“ katanya mantab. Pajangan di rumahnya mau diganti. Kebun sawit. “Saya mau ngafal Qur’an ah. Biar impian saya diurus Allah...“ Jleb...!!! Manteb... Manteb.... Sampe bagian Arif ini mengingatkan saya, kalau ini baru Kuliah Umum...!!! Jangan panjang-panjang, he he he.

Tidak ada komentar:

Cari disini data yang anda butuhkan?